Hemofilia adalah suatu penyakit keturunan yang menyebabkan masalah pada pembekuan darah. Orang yang mengalami penyakit tersebut memiliki faktor pembekuan darah yang tidak bekerja dengan optimal, sehingga perlukaan yang terjadi di tubuh akan lebih sulit sembuh. Kondisi ini ternyata juga bisa dialami oleh ibu hamil.
Hemofilia terbagi menjadi 2, yaitu A dan B. Pada hemofilia A terjadi kekurangan faktor VIII, sementara pada hemofilia B terjadi kekurangan faktor IX. Kedua faktor tersebut berperan dalam pembekuan darah.
Terlepas dari jenisnya, tingkat keparahan hemofilia terbagi menjadi beberapa tahap, mulai dari level normal hingga berat. Pada keadaan normal, persentase aktivitas faktor pembekuan darah adalah 50–150%. Pada hemofilia ringan, persentasenya adalah 5–40%. Selanjutnya, 1–5% untuk hemofilia sedang dan kurang dari 1% untuk hemofilia berat.
Bahaya hemofilia pada kehamilan
Semasa kehamilan, perubahan hormonal akan memengaruhi keadaan faktor pembekuan darah. Sebagai akibatnya, faktor VIII akan meningkat, sementara faktor IX tidak. Kendati begitu, wanita hamil dengan hemofilia tetap lebih berisiko mengalami perdarahan. Ini karena ada kemungkinan bahwa peningkatan tersebut tidak menyebabkan faktor pembekuan darah mencapai level normal.
Adapun beberapa bahaya yang bisa terjadi pada wanita hamil dengan hemofilia, di antaranya:
Abruptio plasenta
Semasa kehamilan, wanita dengan level faktor pembekuan darah yang rendah berisiko mengalami abruptio plasenta. Ini adalah kondisi ketika plasenta (ari-ari) lepas dari rahim sebelum waktunya sehingga dapat terjadi keguguran karena janin tidak mendapat oksigen dan pasokan gizi yang dibutuhkan untuk proses perkembangan.
Perdarahan saat bersalin
Wanita hemofilia yang hamil tetap perlu melakukan pemeriksaan pada aktivitas faktor pembekuan darah menjelang akhir kehamilan. Apabila hasilnya menunjukkan kurang dari 50%, maka diperlukan pengawasan untuk risiko perdarahan, terutama semasa persalinan. Selain itu, perlu dipertimbangkan pemberian terapi dengan pengganti faktor pembekuan sebagai langkah antisipasi.
Wanita dengan hemofilia disarankan untuk menjalani persalinan normal tanpa penggunaan alat. Hal ini dilakukan demi mengurangi trauma dan risiko perdarahan saat melahirkan. Sering kali, operasi dapat dipertimbangkan, khususnya jika ibu hamil sudah mendapatkan terapi pengganti faktor pembekuan darah.
Perdarahan postpartum
Setelah persalinan, nilai faktor pembekuan darah yang sempat meningkat akan kembali seperti semula dalam 14–21 hari setelah melahirkan. Pada fase ini, risiko terjadinya perdarahan postpartum meningkat dan tetap dapat muncul hingga enam minggu setelah melahirkan. Oleh karena itu, wanita dengan hemofilia tetap perlu kontrol rutin setelah melahirkan.
Mewariskan penyakit ke anak
Wanita dengan hemofilia memiliki risiko untuk menurunkan penyakit tersebut kepada anak yang dikandungnya. Jika anak laki-laki, kemungkinan penyakit hemofilia untuk diwariskan adalah 50%. Jika anak perempuan, kemungkinan anak tersebut untuk menjadi pembawa hemofilia (carrier) adalah 50%.
Adanya berbagai bahaya yang ditimbulkan hemofilia pada ibu hamil, wanita yang berada pada kondisi tersebut sangat perlu dipantau oleh tim dokter. Hal ini bertujuan agar dirinya dapat menjalani kehamilan dengan sehat. Kerjasama antara dokter kandungan yang menangani kehamilan, dokter ahli darah (hematologis) yang menangani hemofilia, serta dokter ahli bius (anestesi) yang mungkin diperlukan saat persalinan dapat membantu ibu hamil dengan hemofilia untuk melahirkan dengan aman.
Hemofilia adalah gangguan pembekuan darah yang
menyebabkan darah menjadi sulit membeku. Kondisi ini disebabkan oleh kurangnya
faktor pembekuan darah alias koagulasi di dalam tubuh.
Umumnya, penyakit hemofilia adalah kondisi yang
bersifat genetik atau diturunkan dari anggota keluarga. Namun, dalam beberapa
kasus, tidak menutup kemungkinan hemofilia terjadi sewaktu-waktu pada usia
dewasa. Dalam istilah medis, kondisi ini dinamakan acquired hemophilia.
Orang-orang yang menderita penyakit ini cenderung
mudah mengalami perdarahan yang sulit untuk dihentikan. Akibatnya, darah akan
terus mengalir keluar. Jika tidak segera diobati, penyakit ini dapat
menyebabkan komplikasi hemofiliayang serius.
Penyakit hemofilia adalah kelainan yang tidak dapat
disembuhkan. Pengobatan yang ada saat ini bertujuan untuk meringankan gejala
dan mencegah komplikasi kesehatan di kemudian hari.
Jenis-jenis penyakit hemofilia
Terdapat tiga jenis penyakit hemofiliayang perlu Anda
ketahui, yaitu:
Hemofilia A
Hemofilia tipe A sering juga disebut sebagai hemofilia
klasik yang diturunkan secara genetik. Hemofilia tipe A adalah penyakit yang
terjadi saat tubuh kekurangan faktor pembekuan darah VIII.
Biasanya, hemofilia tipe A dikaitkan dengan kehamilan,
penggunaan obat-obatan tertentu, penyakit kanker, lupus dan rematik.
Hemofilia B
Hemofilia B adalah kondisi yang terjadi karena tubuh
kekurangan faktor pembekuan darah IX. Kondisi ini biasanya diwariskan oleh ibu,
tapi bisa juga terjadi ketika gen berubah atau bermutasi sebelum bayi
dilahirkan.
Hemofilia C
Hemofilia C merupakan gangguan yang disebabkan oleh
berkurangnya faktor pembekuan darah XI. Kondisi ini juga disebut dengan sindrom
Rosenthal. Kasus kejadian hemofilia C tergolong paling jarang ditemukan
dibandingkan dengan jenis lainnya.
Seberapa umumkah penyakit ini?
Hemofilia adalah penyakit bawaan sejak bayi baru
lahir. Penyakit genetik ini tergolong langka dan lebih sering terjadi pada pria
dibandingkan wanita.
Hemofilia A ditemukan pada 1 dari 5.000 kelahiran.
Kasus kejadiannya 4 kali lebih banyak dari hemofilia B, yang ditemukan pada
sekitar 1 dari 30.000 kelahiran. Sementara itu, hemofilia C hanya terjadi pada
sekitar 1 dari 100.000 kelahiran.
Dilansir dari situs Indiana Hemophilia and Thrombosis
Center, sekitar 70% kasus penyakit ini dilatarbelakangi oleh
Tanda-Tanda & Gejala
Tanda-tanda dan gejala hemofilia pada setiap bayi bisa berbeda-beda
tergantung jumlah faktor pembekuan dalam darah Anda.
Orang dengan gangguan pembekuan darah atau hemofilian ringan, gejala yang
muncul biasanya hanya muncul jika Anda mengalami cedera atau luka dan setelah
operasi. Sementara itu, dalam kondisi yang lebih berat,
perdarahan bisa terjadi tanpa alasan. Kondisi ini disebut sebagai perdarahan
spontan.
Secara umum, tanda dan gejala hemofilia adalah sebagai berikut:
Mudah memar
Gusi berdarah
BAB berdarah
Kencing berdarah
Muntah darah
Sering mimisan
Nyeri sendi
Mati rasa
Kerusakan sendi
Segera konsultasi ke dokter terutama jika Anda menemukan gejala khas, yaitu
bagian tubuh mudah memar dan perdarahan yang sulit dihentikan.
Mungkin ada beberapa tanda atau gejala hemofilia yang tidak disebutkan.
Jika Anda khawatir tentang gejala penyakit ini pada bayi, silakan konsultasikan
dengan dokter Anda.
Kapan sebaiknya ke dokter?
Segera hubungi dokter atau pergi ke rumah sakit terdekat jika bayi
mengalami tanda dan gejala darah sukar membeku. Berbagai gejala penyakit ini
yang perlu diwaspadai adalah sebagai berikut:
Sakit kepala parah
Muntah
berulang kali
Sakit
leher
Pandangan
atau penglihatan terganggu karena buram
Perdarahan
besar yang tidak bisa dihentikan setelah cedera, misalnya karena anak
jatuh
Sendi
bengkak yang terasa panas jika disentuh dan sangat sakit ketika ditekuk
Apabila Anda sedang hamil atau merencanakan kehamilan, cobalah
berkonsultasi ke dokter terutama ketika Anda memiliki riwayat keluarga penyakit
ini.
Penyebab
Hemofilia adalah penyakit genetik yang diwariskan dari
orangtua. Menurut Centers for Diases Control and Prevention (CDC),
hemofilia disebabkan oleh mutasi atau perubahan di salah satu gen yang terlibat
dalam produksi faktor pembekuan darah.
Ada sekitar 13 jenis faktor pembekuan darah yang
semuanya bekerja sama dengan trombosit untuk membantu proses pembekuan
dara. Jika faktor-faktor ini terus-terusan berkurang, hal tersebut akan
menyebabkan proses pembekuan darah terganggu. Bayi yang terlahir dengan
mutasi genetik tidak dapat memproduksi faktor pembekuan VIII dan IX dalam
jumlah yang cukup. Itu sebabnya, saat ada operasi atau luka terbuka, pasien
akan sangat sulit menghentikan perdarahan.
Namun, dalam kasus acquired hemophilia,
ada beberapa penyebab lain yang membuat seseorang mengalami gangguan pada
produksi faktor pembekuan darah sekalipun tidak memiliki keturunan. Beberapa di
antaranya adalah:
masalah pada sistem imun tubuh
penyakit peradangan kronis,
seperti rheumatoid arthritis, lupus, dan diabetes
penyakit hati, seperti
hepatitis atau sirosis
kanker
Faktor risiko
Jika Anda memiliki riwayat keluarga yang mengalami
hemofilia, bayi atau anak Anda nantinya juga berisiko besar mengalami kondisi
ini. Hemofilia A dan B lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan karena faktor transmisi genetik. Selain keturunan, faktor-faktor
lain yang meningkatkan peluang seseorang mengalami hemofilia, adalah:
menderita penyakit peradangan
kronis
menderita kanker
memiliki sistem imun tubuh
yang lemah
Diagnosis & Pengobatan
Apa tes yang umum dilakukan untuk
penyakit ini?
Kebanyakan kasus hemofilia adalah kondisi genetik
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
mendiagnosisnya. Jika Anda memiliki riwayat penyakit ini dalam keluarga,
biasanya dokter akan menyarankan agar Anda segera melakukan pemeriksaan. Hal
ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya risiko hemofilia pada bayi dan anak
nantinya. Sama seperti prosedur medis lainnya, dokter akan melakukan
pemeriksaan fisik dan beberapa tes saat bayi baru lahir. Setelah
pemeriksaan fisik dasar, penyakit ini bisa didiagnosis dengan tes darah untuk
kemudian dicari tahu faktor pembekuan darah mana yang kurang
jumlahnya. Cara ini juga dapat memberi tahu dokter gangguan pembekuan
darah jenis apa yang dimiliki oleh pasiennya. Tes ini biasa disebut dengan
tes konsentrasi faktor pembekuan darah. Melalui tes ini, dokter dapat
menentukan bagaimana tingkat keparahan gejala penyakit ini.
Berikut adalah tingkatan penyakit hemofilia:
Hemofilia ringan
ditunjukkan dengan faktor pembekuan dalam plasma di antara 5-40 persen.
Hemofilia
sedang ditandai dengan faktor pembekuan dalam plasma sekitar 1-5 persen.
Hemofilia
berat diindikasikan dengan faktor pembekuan dalam plasma kurang dari 1 persen.
Setelah dokter melakukan serangkaian pemeriksaan,
pilihan pengobatan dan perawatan sudah bisa ditentukan. Tentunya dokter
akan mempertimbangkan pengobatan yang sesuai dengan keparahan kelaianan
pembekuan darah yang Anda miliki.
Apa pilihan pengobatan penyakit
hemofilia?
Hemofilia tidak bisa disembuhkan. Namun, Anda bisa
mengurangi keparahan gejalanya dengan obat-obatan. Pengobatan yang
dilakukan bertujuan untuk mencegah perdarahan dan mengurangi gejala lainnya.
Biasanya, obat yang diberikan akan bergantung pada jenis kelainan darah yang
dialami. Pada dasarnya, dokter akan memberikan partikel pembekuan darah
buatan. Ini disebut juga dengan faktor pembekuan rekombinan. Bagi pasien
hemofilia A akan diberikan faktor VIII rekombinan. Sementara itu, pasien
hemofilia B akan diberikan faktor IX rekombinan.
Selain itu, pengobatan juga bisa dilakukan mengganti
bagian dari proses pembekuan darah yang hilang atau bermutasi (bukan faktor
pembekuannya). Dengan begitu, proses pembekuan darah bisa berjalan dengan
baik. Hal ini dilakukan pada pembuluh darah vena.
Komplikasi
Bila gangguan pembekuan darah ini tidak segera
diobati, kemungkinan besar akan terjadi komplikasi. Beberapa komplikasi yang
harus diwaspadai di antaranya:
1. Perdarahan dalam
Perdarahan menyebabkan bagian tubuh tertentu
membengkak karena perdarahannya terjadi di dalam tubuh. Pembengkakan tersebut
akan menekan saraf dan menyebabkan mati rasa (kebas) atau nyeri.
2. Perdarahan pada sistem
pencernaan
Perdarahan yang terus terjadi bisa menyebar pada
sistem pencernaan sehingga darah akan muncul pada muntahan dan feses. Darah
akan terlihat seperti ampas kopi atau berwarna merah gelap.
3. Hematuria
Selain pencernaan, darah bisa terbentuk di uretra
sehingga menyebabkan darah dalam urine. Inilah yang disebut dengan
hematuria. Kondisi ini akan menyebabkan rasa sakit pada bagian bawah perut
karena urine (air kencing) yang keluar dari kandung kemih terhalang oleh darah.
Perdarahan ini tidak berbahaya jika segera ditangani dengan tepat.
4. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen terjadi ketika perdarahan di otot
memberi tekanan pada arteri dan saraf di dalam otot. Tekanan yang sangat
tinggi pada arteri dan saraf di dalam otot dapat menghalangi aliran darah ke
jaringan yang terkena. Lambat laun, kondisi ini bisa menyebabkan kerusakan
pada otot dan menimbulkan rasa nyeri parah. Jika tidak segera diobati, kondisi
tersebut dapat membuat kehilangan fungsi organ dan bahkan kematian.
5. Perdarahan intrakranial
Benjolan sederhana di kepala dapat menyebabkan
pendarahan di otak pada pasien yang memiliki gangguan pembekuan darah.Meski
jarang terjadi, kondisi ini bisa mengakibatkan kerusakan otak atau kematian
jika tidak segera ditangani.
6. Kerusakan sendi
Perdarahan dalam yang terus menekan saraf dan sendi
akan menyebabkan peradangan pada sendi. Lambat laun, sendi akan mengalami kerusakan.
7. Anemia
Perdarahan yang terus terjadi menyebabkan jumlah sel
darah merah turun jauh dari kadar normal. Jika kondisi ini terjadi, tubuh
akan mengalami kelelahan, badan terasa lemas, dan sakit kepala. Untungnya
anemia bisa diatasi dengan menerima transfusi darah.
Vidio Penyebab
Hemofilia
Referensi
Ferri, Fred. Ferri’s Netter Patient
Advisor. Philadelphia, PA: Saunders / Elsevier, 2012. Print. Page 451 Porter,
R. S., Kaplan, J. L., Homeier, B. P., & Albert, R. K. (2009). The Merck
manual home health handbook. hitehouse Station, NJ, Merck Research Laboratories.
Print. Page 1044
Polihidramnion adalah sebuah kondisi di mana ibu hamil mengalami penumpukkan cairan ketuban. Pada umumnya, hal ini tidak menyebabkan gangguan atau hanya menyebabkan gangguan ringan pada ibu. Namun, polihidramnion dapat menyebabkan gejala serius seperti kesulitan bernapas dan kelahiran prematur.
Kondisi ini umumnya terjadi pada sekitar 1-2 persen kehamilan. Perawatan tergantung pada tingkat keparahan kondisinya. Pada kasus ringan, polihidramnion dapat hilang dengan sendirinya. Dalam kasus berat, dokter perlu memantau kehamilan secara seksama untuk mencegah komplikasi.
Penyebab Polihidramnion
Pada dasarnya, volume air ketuban memang akan meningkat seiring bergulirnya waktu, umumnya pada minggu ke-26 kehamilan. Namun, ketika seorang wanita mengidap polihidramnion, volume cairan ketuban ini bisa meningkat sangat cepat, bahkan mencapai dua liter hingga tiga liter.
Sebenarnya janin punya peran penting terkait cairan ketuban. Janin akan mengendalikan volume cairan ketuban dengan menelan atau mengeluarkannya kembali dalam bentuk urine. Bila janin tak menelan cukup cairan, maka air ketuban bisa menumpuk. Polihidramnion ini terjadi ketika keseimbangan cairan ini terganggu.
Banyak faktor yang bisa mengganggu keseimbangan ini, misalnya infeksi selama kehamilan, ibu hamil mengidap diabetes, hingga ketidakcocokan darah antara ibu dan bayi.
Faktor Risiko Polihidramnion
Ada beberapa faktor risiko yang bisa meningkatkan terjadinya polihidramnion, antara lain:
Infeksi bawaan (terjadi saat kehamilan).
Janin mengalami kelainan pencernaan yang menghambat saluran cairan.
Sindrom transfusi kembar.
Janin mengalami gagal jantung.
Perbedaan golongan darah atau rhesus darah ibu dan janin.
Kurangnya sel darah merah pada janin.
Kehamilan kembar.
Masalah pada plasenta.
Masalah genetik pada bayi.
Gejala Polihidramnion
Ketika wanita hamil mengalami polihidramnion, mereka bisa merasakan beberapa keluhan dalam tubuhnya. Gejala yang muncul terjadi karena tekanan pada rahim dan organ-organ di sekitarnya. Ada pun gejala yang patut diwaspadai seperti:
Kesulitan bernapas.
Bengkok pada kaki dan perut.
Kontraksi rahim.
Kelainan posisi janin dalam rahim, seperti sungsang.
Diagnosis Polihidramnion
Seperti penyakit atau kondisi medis pada umumnya, dokter akan mengawali diagnosis dengan anamnesis atau wawancara medis. Di sini dokter akan menanyakan gejala yang dialami pengidapnya. Setelah itu, barulah dokter akan melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang. Pemeriksaan penunjang berupa USG bisa membantu dokter untuk menegakkan diagnosis polihidramnion. Selain USG, tes tambahan yang bisa dilakukan termasuk:
Tes darah. Prosedur ini dilakukan untuk mendeteksi penyakit menular yang mungkin berhubungan dengan polihidramnion.
Amniosentesis. Amniosentesis adalah prosedur di mana sampel cairan ketuban yang mengandung sel-sel janin dan berbagai bahan kimia yang diproduksi oleh bayi dikeluarkan dari rahim untuk diuji. Pengujian mungkin termasuk analisis kariotipe, yang digunakan untuk menyaring kromosom bayi guna mendeteksi kelainan.
Jika ibu telah didiagnosis mengidap polihidramnion, dokter akan memantau kehamilan dengan cermat. Pemantauan dapat mencakup hal-hal berikut:
Tes non-stres. Melalui tes ini, dokter akan memeriksa bagaimana detak jantung bayi bereaksi ketika bergerak. Selama tes, ibu perlu mengenakan alat khusus di perut untuk mengukur detak jantung bayi. Ibu mungkin juga diminta untuk makan atau minum sesuatu untuk membuat bayi aktif. Perangkat seperti bel juga dapat digunakan untuk membangunkan bayi dan mendorong gerakan.
Profil biofisik. Tes ini menggunakan ultrasound untuk memberikan informasi lebih lanjut tentang pernapasan, nada dan gerakan bayi serta volume cairan ketuban di dalam rahim. Prosedur ini dapat dikombinasikan dengan tes non-stres.
Komplikasi Polihidramnion
Polihidramnion sering kali dikaitkan dengan:
Kelahiran prematur.
Pecah ketuban terlalu dini.
Abruptio plasenta ketika plasenta terlepas dari dinding bagian dalam rahim sebelum waktunya.
Melahirkan secara caesar.
Pendarahan berat, karena kurangnya tonus otot uterus setelah melahirkan
Semakin dini polihidramnion terjadi, maka semakin besar jumlah kelebihan cairan ketuban, sehingga semakin tinggi pula risiko komplikasi.
Pengobatan Polihidramnion
Untuk kasus polihidramnion ringan, biasanya kondisi ini bisa pulih dengan sendirinya tanpa penanganan khusus. Untuk kasus lainnya, mengobati faktor penyebab seperti mengontrol gula darah pada diabetes melitus dapat membantu mengatasi masalah polihidramnion.
Jika mengalami gejala seperti kesulitan bernapas, nyeri dan kram perut, hingga mengalami kelahiran prematur, pengidap harus segera dibawa ke rumah sakit dan diberikan pengobatan. Hal-hal yang dapat dilakukan berupa:
Drainase cairan amnion yang berlebihan.
Konsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan sekresi urine dari janin.
Pencegahan Polihidramnion
Sayangnya hingga kini cara untuk mencegah polihidramnion belum diketahui dengan pasti. Namun, setidaknya wanita hamil perlu menjauhi faktor risiko yang dapat memicu terjadinya polihidramnion.
Misalnya, wanita yang mengidap diabetes, perlu mengontrol kadar gula darah dengan baik. Di samping itu, cara mencegah polihidramnion bisa juga dengan vaksinasi sebelum hamil agar terhindar dari infeksi selama kehamilan.
Vidio tentang Polihidramnion
Referensi
National Health Services. Diakses pada 2022.Health A-Z. Polyhydramnios (Too Much Amniotic Fluid).
Mayo Clinic. Diakses pada 2022. Disease and Conditions. Polyhidramnios.
Cleveland Clinic. Diakses pada 2022. Polyhidramnios.
CPD (cephalopelvic disproportion) adalah kondisi ketika kepala bayi tidak mampu melewati panggul ibu. Kondisi ini bisa membuat proses persalinan normal menjadi sulit dilakukan. Apa penyebabnya dan bagaimana cara penanganan CPD?
Istilah cephalopelvic disproportion berasal dari kata cephalo yang berarti kepala dan pelvic yang berarti panggul. Secara umum, CPD diartikan sebagai kondisi ketika kepala bayi sulit masuk ke panggul atau jalan lahir. Ibu yang mengalami kondisi ini biasanya akan mengalami persalinan macet, sehingga sulit untuk melahirkan secara normal.
Penyebab dan Faktor Risiko CPD (Cephalopelvic Disproportion)
Kondisi kepala bayi yang tidak cukup melewati panggul bisa disebabkan oleh berbagai hal. Berikut ini adalah beberapa kondisi janin yang bisa menjadi penyebab terjadinya CPD:
1. Janin terlalu besar
Risiko terjadinya CPD meningkat jika berat janin lebih dari 4.000 gram. Bobot bayi yang besar ini bisa disebabkan oleh faktor keturunan atau diabetes gestional.
2. Posisi janin tidak normal
Janin dalam posisi sungsang atau melintang akan lebih sulit untuk melewati panggul dalam persalinan normal. Persalinan normal juga akan sulit dilakukan jika bagian kepala bayi yang menghadap leher rahim lebih lebar, misalnya wajah atau sisi belakang kepala.
3. Gangguan kesehatan
CPD terkadang juga bisa terjadi ketika janin mengalami kondisi tertentu, misalnya hidrosefalus. Kondisi ini membuat ukuran kepala janin membesar, sehingga lebih sulit melewati panggul atau jalan lahir.
Sementara itu, ada beberapa kondisi yang bisa membuat ibu hamil lebih berisiko mengalami CPD, di antaranya:
Riwayat operasi panggul atau pernah cedera pada panggul
Hamil di usia remaja, karena tulang panggul belum tumbuh sempurna
Kehamilan lewat bulan atau usia kandungan sudah lewat 40 minggu
Pemeriksaan untuk Mendiagnosis CPD (Cephalopelvic Disproportion)
CPD umumnya tidak menimbulkan gejala selama kehamilan. Namun, apabila CPD terjadi karena bentuk panggul ibu yang sempit atau ukuran janin yang besar, kondisi ini umumnya bisa terdeteksi oleh dokter melalui pemeriksaan kandungan secara rutin.
Dokter bisa mendiagnosis CPD pada ibu hamil melalui pemeriksaan fisik, pemeriksaan panggul, dan USG kehamilan. Menjelang persalinan, ibu hamil dengan CPD biasanya akan mengalami beberapa masalah atau keluhan berikut ini:
Persalinan macet atau berlangsung lebih lama dari yang diharapkan
Kontraksi rahim tidak cukup kuat atau tidak ada
Pelebaran serviks atau pembukaan rahim terjadi secara perlahan atau tidak terjadi sama sekali
Kepala bayi tidak kunjung memasuki panggul atau jalan lahir
Induksi tidak berhasil membuat persalinan berkembang
Metode Persalinan yang Direkomendasikan dalam Penanganan CPD
Ibu yang memiliki panggul sempit masih berpeluang untuk melahirkan secara normal. Selama proses persalinan, dokter atau bidan akan memonitor kontraksi, pembukaan leher rahim, dan pergerakan bayi menuju jalan lahir.
Namun, jika terdapat kesulitan, dokter dapat membantu proses persalinan dengan bantuan forcep atau vakum untuk mengeluarkan bayi.
Meski demikian, CPD terkadang bisa membuat proses persalinan berlangsung sangat lama, sehingga membuat ibu kelelahan. Jika sudah demikian, biasanya dokter akan melakukan operasi caesar untuk mengeluarkan bayi dari dalam rahim. Operasi caesar juga bisa dilakukan apabila terdapat kondisi penyulit, seperti gawat janin.
Karena berisiko membahayakan kondisi ibu dan janin, sebagian besar ibu hamil dengan CPD disarankan melahirkan dengan operasi caesar.
Jika proses persalinan berlangsung terlalu lama akibat CPD, ada beberapa komplikasi yang bisa terjadi pada ibu atau janin, di antaranya:
Kelainan bentuk kepala bayi
Cedera kepala bayi
Prolaps tali pusat
Distosia bahu, yaitu kondisi ketika bahu bayi tersangkut di jalan lahir atau vagina
Ruptur Perineum
Cedera rahim
Pendarahan
Guna mengantisipasi adanya kondisi penyulit selama persalinan dan mendeteksi CPD sejak dini, penting bagi setiap ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan secara rutin ke dokter kangdungan. Dengan begitu, dokter bisa merencanakan penanganan yang tepat.
Vidio seputar CPD
Referensi
Desai, N.M. & Tsukerman, A. NCBI Bookshelf (2020). Vaginal Delivery. Wen, et al. (2018). Temporal Trends in Severe Maternal and Neonatal Trauma during Childbirth: a Population-based Observational Study. BMJ Open, 8(3), e020578. American Pregnancy Association. Cephalopelvic Disproportion (CPD). Johns Hopkins Medicine. Pelvic Ultrasound. Mayo Clinic (2020). Diseases & Conditions. Fetal macrosomia. Tantry, T. Flo Health (2019). Cephalopelvic Disproportion: Signs, Causes, and Potential Risks. Hoffman, C. The Bump (2017). Cephalopelvic Disproportion (CPD). Murray, D. Verywell Family (2019). Cephalopelvic Disproportion. Weiss, R. Verywell Family (2019). 9 Good Positions for Labor.